Baru kali ini dalam sejarah, kami menjalani puasa dan hari Raya, 100% di rumah saja.
Singkat cerita, ini karena masih di masa wabah virus Corona, tepatnya virus Covid-19 yang sudah dinyatakan sebagai pandemi berskala dunia.
Untuk kami sekeluarga ini, saya - suami dan dua anak - sudah sukarela me-lockdown diri sendiri di rumah, sejak ada berita kasus posittif pertama terjadi di Jakarta.
Belum ada gonjang-ganjing harus Karantina Mandiri, Isolasi Wilayah ataupun PSBB dari pemerintah, kami sudah tahu bahwa membatasi diri itu penting. Benar-benar membatasi diri tidak keluar rumah jika tidak penting-penting banget.
Untunglah, alhamdulillah, suami saya bisa total bekerja dari rumah saja. Tidak perlu ke kantor sama sekali. Anak sulung juga baru saja lulus SMK dari Jombang dan baru saja kami jemput balik ke Surabaya. Kira-kira seminggu kemudian sudah ada berita virus ini masuk Indonesia. Syukurlah, urusan ujian nasional dan lain sebagainya untuk SMK ini udah beres. Mereka adalah satu-satunya yang mengalami ujian nasional terakhir di tahun 2019. Karena untuk SMA, SMP dan SD kemudian diputuskan tidak ada ujian nasional. Murid-murid diberikan pelajaran dan tugas secara online. Dan langsung dinyatakan lulus sekolah.
Netijen menyebut mereka = GENERASI CORONA :)
Saya pun sempat membuat status di instagram untuk pamit mundur dulu dari belantikan persilatan :). Maksudnya, saya batasi diri ada di kegiatan offline atau tatap muka. Dan hanya mau bekerja secara online. Eh ternyata tak seberapa lama kemudian, Corona masuk ke Indonesia. Kok ya pas ya momentumnya?
Jadinya kan saya beneran 100% di rumah dan bekerja secara online saja. *sebuah curhatan yang dikabulkan.
Menjalani puasa di rumah saja, sih nggak terlalu berat buat kami. Maksudnya, nggak akan baper karena nggak bisa ikutan bukber.
Lah, suami, anak-anak dan saya juga itu kurang sreg dengan budaya bukber. Menurut kami ini paling bikin salah tingkah. Mau buka puasa sampai ke sholat maghrib dan terawih, biasanya waktunya tidak nyaman. Apalagi bukber di luar rumah, kudu antri di toilet, wudhu atau sholatnya juga. Ah repot.
Full 30 hari berpuasa di rumah saja, alhamdulillah bisa kami jalani dengan baik. Tidak ada seharipun kami krinan atau kesiangan tidak sahur. Bangga juga saya :)
Anak, suami dan saya juga sehat walafiat. Padahal biasanya di masa ramadhan gitu pasti ada aja sela-sela yang kena flu, batuk atau pilek. Atau maag saya kumat. Tapi kali ini, semua aman.
Tahun lalu, 2019, bisa disebut ramadhan terberat bagi kami sekeluarga. Saya masih di akademi, yang berangkat siang bolong dan pulang saat maghrib. Kebayang proses masak untuk takjil atau buka puasa gimana? Duh, beratnya.
Tahun ini, 2020, hampir 100% saya masak sendiri. Bahkan saya sempat bikin roti sobek, pizza, dan masakan lainnya sendiri di rumah. Demi sehat dan mencegah penularan virus, itu tujuannya.
Sekitar dua minggu sekali, saya dan suami belanja keperluan bahan masakan di Giant atau Sakinah Mart dekat rumah. Daripada beli makanan siap antar, yang entah nanti bisa kena percikan droplet atau nggak. Kami memilih stok frozen food aneka bentuk. Jadi siap goreng aja gitu. Baik untuk takjil ataupun lauk buka dan sahur. Sampai-sampai saya dah bosen luar biasa dengan rasanya. Yang lama-lama kayak sama aja semua...huuuu.
Dan saya udah muak membaca tulisan frozen food. Udah parah bangeet.
Sesekali saya belanja bahan mentah seperti sayur, tahu dan tempe di bakul wlijo dekat rumah. Yang buka hanya pagi aja. Itu pun ga tiap hari. Sekali belanja untuk 3 hari - 1 minggu. Jadi milih sayur yang awet.
Sholat terawih dan sholat wajib lainnya bisa berjamaah setiap hari di rumah. Berempat. Full 30 hari. Semoga bisa jadi kebiasaan selanjutnya.
Tidak terasa, sampai juga di hari terakhir bulan puasa tahun 2020 istimewa ini.
Tentu masih ada gonjang-ganjing dan teman atau tetangga yang heran dengan sikap kami yang keras banget dalam mengkarantina diri sendiri di rumah. Tapi itu tak mengapa, kami terima saja dengan lapang dada.
Bahkan ketika sholat Idul Fitri pun, kami memilih di rumah saja. Padahal di perumahan mengadakan sholat bareng dan sarapan pagi bareng.
Semoga mereka juga lama-lama paham dengan pilihan kami ini.
Sengaja saya memasang kamera HP menyala ketika sholat Idul Fitri tahun ini. Karena bisa jadi hal paling bersejarah dalam keluarga kami. Pertama kalinya, suami menjadi Imam Sholat Hari Raya dan Khotib.
Dari kemarin saya udah wanti-wanti ke anak-anak. Dilarang ketawa pas bapak ceramah hari raya. Eh malah saya yang nahan ngikik sampai batuk-batuk hahaha. Padahal pak suami udah senewen aja dari kemarin, mulai nyiapin bahan ceramah sampai tadi berdiri depan kami serasa di mimbar.
Selesai sholat, anak-anak baru tahu kalau proses sholatnya direkam. Tapi ya karena demi candid, yang banyak kelihatan sisi saya dan suami doang. Takut ketahuan sejak awal, karena anak keduaku itu anti kamera. Bisa ngamuk dan ngambek nggak sholat kalau ketahuan direkam.
Candid lanjut lagi, tapi dah sukarela. Yaitu ketika sungkem-sungkeman minta maaf.
Seperti tahun sebelumnya juga saya biasanya bikin suasana jadi ketawa-ketiwi aja. Kalau nggak itu nanti jadi nangis dan mewek sesenggukan. Ah nggak asik banget.
Jadi sengaja pas salim minta maaf ke suami, saya selipkan permohonan.
"Pak, minta maaf kesalahanku ya pak..THR nanti ditransfer lagi yaa"
Hahaha, gitu doi juga njawab aja. "Insya Allah", gitu katanya wkk.
Anak sulung di belakangku nyengir doang lihat kelakuan emaknya.
Ya begitulah, sebisa mungkin saya bikin suasana di rumah ini santai dan biasa-biasa saja. Walau tentang karantina kami terapkan sangat ketat dan tidak ngawur dengan protokol Covid-19 untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyebaran.
Di luar itu, demi menjaga suasana hati tenang dan tidak panik, saya selipkan berbagai canda tawa di rumah. Gitulah tugas ibu-ibu ya :)
Ya sudah. Kami terapkan untuk tidak banyak mengeluh. Dan menerima saja apa yang sedang terjadi. Dengan tetap terus kreatif dan berpikir bagaimana untuk bisa aktif produktif dan bermanfaat walau dari rumah saja.
Yang penting semua sehat, dan Gusti Allah SWT sayang, apapun kami terima menjalani walau masih harus di rumah saja. Semoga kebaikan dan yang terbaik akan tercapai di masa depan.