Kegerahanku di balik baju berwarna biru berbahan tissue ini makin bertambah-tambah saja rasanya. Di depanku duduk seorang perempuan dengan perutnya yang sedikit membesar. Kabarnya sedang hamil sekitar 4 bulan. Senyumnya muncul di sela-sela wajahnya yang kusut dan keringat yang sesekali turun dari sudut keningnya. Tangan kanannya menopang tubuhnya yang sepertinya sedang lemah. Efek hamil muda, begitulah kiranya.
“Dari mana tadi mbak?”begitu tanyanya padaku.
“Dari rumah.”jawabku pendek.
“Asli Surabaya ta mbak?”
“Iya”. Dan jawaban pendekku itu tak berlanjut percakapan lagi. Karena aku sibuk dengan perasaanku sendiri.
Kelusuhan seorang ibu muda di depanku ini membuatku menggumam berkali-kali. “Aku tak mau seperti dia. Aku nggak mau tampak lemah begitu. Tak berdaya. Hanya di rumah saja. Kelak hanya seperti itu saja, tugasnya repot mengasuh anak, tidak bisa kerja, tidak bisa kemana-mana. Tidak tidak tidak. Aku tidak mau jadi ibu rumah tangga.”
Pasti sulit menemukan orang yang menolak gumamanku sendiri itu. Hampir dipastikan banyak yang mendukung mahasiswi kimia ITB yang sebentar lagi lulus ini untuk menjadi wanita karir yang hebat. Yang sibuk di kantor. Yang workaholic. Bahkan jarang pulang ke rumah dan ngider saja dari bandara ke bandara, keliling dunia demi kerja. Wih bangga banget pastinya juga ibuku yang selalu ingin mempunyai anak perempuan yang berpendidikan dan berkarir tinggi.
Ah bayangan yang kedua ini lebih indah di mataku. Berulang kali aku hadirkan bayangan itu untuk menutupi tampilan perempuan lemah yang ada di hadapanku itu. Perempuan yang kelak menjadi adik iparku.
Ibarat merapal mantra, aku ulang-ulang kalimat itu, untuk membuatku yakin bahwa setelah menikah pun aku akan bisa berkarir hebat. Dan aku tidak akan menjadi ibu rumah tangga saja setelah menikah dengan kakaknya.
“Tidak tidak tidak. Aku tidak mau jadi ibu rumah tangga.”
Inilah bunyi rapalanku itu.
Karir Sudah Jelas Sebelum Lulus Kuliah
Supaya aku tidak jadi ibu rumah tangga, maka sebelum menikah harus dipastikan kalau aku sudah diterima kerja. Hal ini aku pikirkan betul. Di masa skripsi dan penelitian tugas akhir di jurusan kimia ini, aku menimbang-nimbang tempat penelitian yang akan bisa mewujudkan niatku itu.
Peluang bisa bekerja lebih besar di mana. Apakah aku tetap di jurusan kimia ITB, di PAU (Penelitian Antar Universitas) di dalam kampus ITB atau memberanikan diri untuk melakukan penelitian di luar kampus, yaitu di LIPI?
Pilihan terakhirlah yang aku ambil. Dosen pembimbing tugas akhir sebelumnya bertanya, “kamu mau penelitian di LIPI? Kalau iya temui bu Zalinar Udin, kepala Balai di sana, dia mahasiswa S3 saya. Kamu bantu penelitian dia.”
“Baik pak.” Aku langsung menjawab tanpa berpikir panjang. Aku tidak bertanya penelitiannya tentang apa dan harus mengerjakan apa. Aku hanya mengiyakan ketika bapak dosen bertanya apakah aku suka dengan biokimia medis. Dan aku menjawab, “iya saya suka pak.”
Esoknya tanpa diantar siapapun. Tanpa pak dosen ataupun teman lain satupun, aku berangkat sendirian menuju ke LIPI bandung yang letaknya cukup dekat dengan kampus juga dekat dengan area kosku. Berbekal nekad aku bertanya ke pos penjagaan, ke pak satpam, “di mana saya bisa bertemu bu Zalinar?”
Aku lakukan itu tanpa tahu bagaimana wajah bu Zalinar itu. Apakah beliau tahu kalau aku akan membantu penelitian S3-nya. Dan bagaimana respon beliau setelah melihatku. Aku tidak berpikir panjang. Targetku adalah mendapatkan tempat penelitian yang minim pesaing. Minim modal. Dan kelak bisa sekaligus bekerja juga di sana. Pilihan jatuh pada LIPI.
Jika aku melakukan penelitian di kampus seperti teman lainnya, aku harus bersaing dengan banyak teman di topik yang sama. Harus mengantri zat kimia di laboratorium atau malah beli sendiri jika bahan habis, jelas aku tidak punya uang untuk itu. Dan aku belum tentu bisa diterima kerja di ITB, sadar diri juga karena nilai IPK- ku tidak spektakuler.
LIPI Kimia Bandung adalah pilihan terbaik. Dan untunglah kenekadanku siang itu berbuah manis. Bu Zalinar, sosok perempuan yang mungil, lincah dan berkarakter tegas itu menerimaku menjadi pendamping penelitiannya di LIPI.
“Oke. Siapa namamu? Oke Heni. Besok minta surat resmi ke pak dosennya ya. Lalu pindah penelitiannya di sini.”
“Baik bu.” Dadaku seperti meledak karena bahagia, lega dan bangga bisa melewati sesi kenekadan pertama jadi mahasiswi yang sendirian datang ke LIPI. Sementara tak ada satu pun temanku yang mau melakukan hal yang sama ini.
Aku melonjak gembira. Langkahku meloncat-loncat ringan seperti halnya pemain The Sound of Music.
Alhamdulillah ya Allah…Alhamdulillah.
Yess… yesss…kalau bisa aku salto mungkin di jalanan. Tapi semua kebanggaan itu aku pendam dan rasakan sendiri sambil berjalan menuju ke rumah kos.
Proses penelitian pun berjalan lancar. Dan naga-naganya bahwa aku akan diterima bekerja di LIPI semakin kelihatan. Bu Zalinar beberapa kali mengungkapkan, “kamu pintar Hen, kamu pintar. Nanti kuliah lagi ya S2.” Atau di lain waktu beliau mengatakan,”udah kalau lulus kerja di sini saja. Bantu saya”.
Ya, aku semakin pede kalau rapalanku itu beneran manjur. Sebelum menikah aku sudah punya tempat kerja. Jadi setelah menikah pun aku tidak akan menjadi ibu rumah tangga. Aku berhasil. Ketika adik iparku tadi sudah melahirkan dan bayinya berusia sekitar 6 bulan, aku menikah dengan kakak pertamanya. Dan setelah menikah, jelas sekali aku langsung akan bekerja di LIPI. Meneruskan penelitianku ketika sarjana, demi membantu pekerjaan bu Zalinar di LIPI dan juga penelitiannya di S3 ITB.
Bekerja menjadi peneliti adalah impianku sejak SMA. Kimia adalah bidang studi yang aku sukai di jenjang sekolah itu. Bahkan ketika mendaftar kuliah pun aku memilih jurusan yang sama di pilihan 1 dan 2 pada tes UMPTN. Kimia ITB dan kimia ITS.
Setelah lulus kuliah, jika tidak menjadi dosen maka aku akan menjadi peneliti.
Itu saja yang terus menerus menjadi affirmasiku setiap hari melakoni hari kuliah di kimia ITB. Sampai akhirnya momen itu terjadi juga. Aku diterima di LIPI tanpa kesulitan berarti. Dimudahkan karena aku melaksanakan tugas akhir di situ juga. Luar biasa. Sempurna sangat sempurna. Menjadi wanita karir setelah menikah adalah kebanggaanku dan keluarga.
Tapi rupanya, takdir hidupku berkata lain. Semua hal yang sudah kurancang dengan suami, mulai tampak berbeda arah. Perahu yang kami kendarai bersama tidak bisa mengendalikan arah angin. Tidak ada pilihan bahwa kami harus memilih untuk membelokkan arah perahu, supaya tidak terjatuh dan karam atau menabrak tebing. Saat itu aku hamil anak pertama, sementara suamiku yang direncanakan akan lulus kuliah lanjutan bareng denganku mengalami hambatan pada skripsinya.
“Wah hasilnya strip dua,”aku ternganga melihat hasil test pack yang pertama kali kulakukan itu.
Suamiku spontan berkata, “Alhamdulillah”.
Aku pucat dan menahan hati. Dalam bahagia ini, ada satu konsekuensi besar yang harus kuhadapi.
Benarlah firasatku. Demi kesehatan dan keselamatan si jabang bayi pertama kami, akhirnya aku dan suami memutuskan untuk kembali ke Surabaya. Dia tidak tega membiarkanku di perantauan sendirian, bekerja di laboratorium dengan bahan kimia yang karsenogenik pula. Demi si calon buah hati ini juga aku pun langsung mengiyakan ajakan suamiku kembali ke Surabaya tanpa ada perdebatan panjang atau kesepakatan yang alot.
“Baiklah, ayo kita pulang. Anak ini tanggung jawab kita.” Aku menggenggam tangan suamiku erat-erat. Mencari penguatan akan harapan yang pecah berkeping-keping di dalam dada.
Beberapa hari kemudian aku berpamitan kepada bu Zalinar. Aku mundur kerja sebelum diangkat jadi peneliti beneran. Tidak jadi kuliah lagi. Dan yang pasti, aku akhirnya melepaskan karir impianku yang sudah disusun bertahun-tahun sejak SMA.
Apakah kira-kira kalian bisa membayangkan bagaimana rasanya?
Sepertinya aku akan jadi ibu rumah tangga. Saja.