Alasan Kuliah di Jurusan Kimia FMIPA ITB Yang Jauh dari Keluarga di Surabaya

20 komentar
Sebenarnya seperti halnya impian jamak anak-anak kecil di tahun 90-an adalah menjadi dokter. Maka kuliah di jurusan kedokteran termasuk sebagai cita-cita di dalam kepala saya waktu kecil, bahkan sampai SMA. Saya yakin bisa tembus ke jurusan ini, karena sejak kecil pula nilai rapor saya cukup bagus. Langganan rangking dan juara kelas. Bukan semata berotak cerdas atau pintar, tapi sejatinya saya memang anak yang diberikan titipan bakat untuk suka belajar. 

Sampai suatu saat ketika program analisa masuk jurusan apa di sebuah bimbingan belajar, pemilik bimbel yang menjadi konsultan juga saat itu memberikan pandangan yang berbeda. 

Dari beberapa hasil try out saya menunjukkan nilai yang tinggi di berbagai mata pelajaran, termasuk matematika, kimia, bahasa Indonesia, fisika dan bahasa Inggris. Nah yang jelek atau nggak terlalu bagus adalah nilai biologi. 

Pak konsultan bimbel lalu memberikan komentar begini, "Kamu ingin masuk kuliah kedokteran? tapi nilai biologinya rendah gini. Yakin kamu? kuliah kedokteran itu banyak hafalannya bukan hitungannya. Tapi matematika kamu tinggi gini kan. Coba pikir lagi. Kuliah kedokteran itu lama banget baru bisa menuai hasilnya. Butuh 14 tahun baru balik modal. Mulai kuliah kedokteran umum, lalu praktek pengabdian, trus kuliah lagi kedokteran spesialis. Panjang. Butuh bertahun-tahun dan butuh uang yang banyak."

Okay that's it. Demi kalimat terakhir itu yang mengurungkan niat saya untuk ngeyel mendaftar di jurusan kedokteran. Kasihan bapak yang pensiunan tentara sudah bertahun-tahun. Nanti ibu bakal seperti apa kerja jungkir baliknya untuk menutup biaya kuliah di kedokteran. Kuliahnya lama juga mungkin aku tidak tahan, apalagi banyak hafalan. Iya sepertinya konsultan bimbel itu benar. 

Singkat cerita, ketika mendaftarkan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), saya pun memutuskan memilih jurusan Kimia. 



Alasan sederhana waktu itu adalah saya suka warna-warni. Kalau memilih jurusan Matematika atau Fisika nanti hanya ketemu angka-angka, membosankan. Kalau kimia kan nanti ada larutan, batu kristal dan reaksi kimia yang melibatkan juga warna-warna. 

Pilihan mendaftar kuliah saat itu adalah:
Pilihan 1 = Kimia FMIP ITB
Pilihan 2 = Kimia FMIPA ITS

Dua-duanya jurusan Kimia. Iya sengaja biar tidak repot juga dan hasil dari analisa pak konsultan bimbel tadi juga. Saya memilih jurusan yang kira-kira bakal tembus dan lolos masuk kampusnya. 

Ketika berkas mendaftar UMPTN sudah saya serahkan, yang waktu itu diurus kolektif oleh bimbel, jadi bukan sekolahan SMA yang mengurus gitu. Intinya saya sendiri yang mendaftar dan mengurus sendiri semuanya tanpa didampingi orang tua, saudara atau guru. 

Ketika mendengar saya hanya memilih jurusan Kimia, kakak laki-laki ketiga saya protes, kenapa saya tidak memilih jurusan Farmasi saja. Alasannya kalau sudah lulus nanti bisa bikin apotek sendiri, lebih jelas pekerjaannya. 

Saya waktu itu kaget juga dengan komentarnya kok baru muncul, lah kemarin ke mana aja mas?
Tapi sudah terlanjur, ya saya jawab aja apa adanya. 

"Kalau daftar ke farmasi, aku gak lolos mas, nilai passing grade ku gak nututi."

Dan ketika ditanya kenapa milih Kimia, nanti nggak jelas pekerjaannya. Aku pun menjawab kalau cita-citaku ingin menjadi dosen atau peneliti di laboratorium kimia. Dan itu memang benar adanya. 

Eh lalu kenapa harus ke ITB?
Ke Bandung? gak ke ITS aja langsung gitu kuliahnya, kan enak dekat dengan keluarga di tanah kelahiran Surabaya, ya kan?

Entahlah, saya waktu itu pengen menantang diri sendiri saja. Ingin merantau. Sekalian untuk memacu diri sendiri lebih baik tanpa intrik-intrik orang dekat atau keluarga yang masih menganggap saya anak perempuan cengeng dan nangisan hahaha. Nekad amat dah. Padahal saya tidak punya keluarga dan kenalan sama sekali di Bandung atau bahkan Jawa Tengah. Udah berani aja loncat dari Jawa Timur ke Jawa Barat.



Dan begitulah, akhirnya, atas takdir jalan dari Allah SWT saya diterima di jurusan Kimia ITB. Ibu saya yang sesaat setelah mendaftar, menangis tiap hari dan berdo'a supaya saya batal atau tidak diterima di kampus yang jauh, kali ini do'anya tidak manjur. Huuuu...so sad mendengar cerita ini kemudian. 

Tapi orang tua dan keluarga saya tidak terlalu baper melepas saya merantau jauh ke Bandung. Karena udah ada pengalaman 3 tahun waktu SMA jauh dari Surabaya, ketika menemani ibu kembali ke Jombang, kota kelahiran ibu yang berjarak 2 jam dari Surabaya itu. Bahkan waktu kelas 3 SMA saya benar-benar sendirian di rumah selama satu tahun dan sempat berpindah ke rumah saudaranya ibu demi keamanan diri jika terus sendirian di rumah ibu yang asli. Demi bisa belajar juga tiap hari biar lolos UMPTN dan bisa tembus masuk ITB. 

Dan kenapa juga ITB? kenapa bukan UGM atau UI?

Entahlah  kalau diingat, saya dulu tak terlalu risau dengan predikat kampus favorit. Mungkin ini termasuk jadi bagian pengaruhnya, jadi waktu kelas 3 SMA ada kunjungan dari alumni SMA yang sudah kuliah di ITB. Sedikit ceritanya menarik hati. Terutama kota Bandung yang dingin dan makanannya enak-enak. 

Sejak lahir saya tinggal di Surabaya, kota metropolitan yang padat dan panasnya minta ampun. Jadi pengen banget ke kota Bandung yang sejuk dan adem itu. 

Nah, sederhana bukan alasan masuk kuliah di jurusan kimia ini?

Nggak banget deh dengan analisa ala anak masa kini. Receh banget mbak Heni. Lah itu kenyatannya. Dan ketika saya sudah kuliah, terbukti deh kalau pak konsultan bimbel itu benar. Mending saya ambil jurusan Matematika. 

Kenapa?
Karena di jurusan kimia selama kuliah 4 tahun itu, nilai mata kuliah di transkrip akhir saya untuk Kalkulus dan Matriks Ruang Vektor (pelajaran matematika) adalah A dan AB. Sedangkan nilai mata kuliah terkait kimia malah beragam mulai A,B,C dan D. 

Iya serius, di transkrip saya, nilai Kimia Analitik saya D. Yang menyebabkan IPK saya menjadi 2,98. Hanya butuh 0,02 aja untuk menjadi bulat 3. Ya ampun sayaa....

Lalu setelah lulus, kerja apa?

Tunggu postingan selanjutnya, mungkin akan jadi topik baru di Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog.

 






20 komentar

  1. Sebenarnya iya juga, faktor mau kuliah di ITB salah satunya karena kampusnya adem dan besar (alasan kurang dalem ya hihi). Tentunya selain karena mengincar jurusan impian

    BalasHapus
    Balasan
    1. pas awal masuk itu adem banget ya, ga tau sekarang :)

      Hapus
  2. Salah satu temen juga dulu pengen masuk ITB karena kampusnya adem, banyak pohonnya, dan banyak tempat kulineran. Suasana adem pepohonan ITB tuh mendukung belajar banget sih teh kalo di saya hihi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. walau saya di kampus pas kuliah doang banyaknya sih, ga terlalu mengeksplor. gempor kaki hahaha

      Hapus
  3. Alasan pilih kimia: suka warna warni. alasan pilih ITB: bandung adem dan makanannya enak-enak. Epic asli alesannya,teh,haha..

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau dipikir emang itu alasannya, pas dah masuk kuliah baru ngeh ini kampus favorit karena ini itu to ternyata wkk

      Hapus
  4. Transkrip saya juga ternodai nilai D gara-gara kimia dasar, hihihi...
    Penasaran sama kelanjutan ceritanya...

    BalasHapus
  5. Hmm padahal ITS pun banyak pohonnya. 😁.. tapi udaranya memang lebih adem di Bandung ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. ITS sekarang baru rimbun banget dek, dulu ya kering deh. panas

      Hapus
  6. Teeeh mandiri banget tinggal sendiri, urusin ini itu sendiri heheu makanya berani buat ngerantau ya. Saya dulu ga kepikiran waktu kuliah ngerantau hehe baru kesampaian pas kerja

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener. kalau diingat sekarang, kayak berani banget aku ya, nekad

      Hapus
  7. Huhuu ikutan sedih baca cerita doa ibu yg blm terkabul ... unik nih ceritanya ... biasanya pada cerita masuk ITB berkat doa ibunda 😁

    BalasHapus
  8. Wahh tipis banget, 0.02 lagi bisa jadi 3 ipk nya.. sedih sih pas tau ceritanya ibunya begitu.. tp pasti didoanya terselip semoga teteh diberikan jalan yang terbaik, makanya tetep merantau dehh.. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. ibu ga bilang dulu sih, dikuat2in aja sayanya. sekarang2 baru ngaku hahaha

      Hapus
  9. seru ih suka menantang diri, hehee. ternyata jago matematik teh, takjub buat saya yg matematikanya lemah.. kali ini do'anya tidak manjur. Huuuu...so sad mendengar cerita ini kemudian. ---? hii bikin sedih jg bacanya, tp pasti ada hikmahnya yaa teh!

    BalasHapus
    Balasan
    1. ga tau dapat gen darimana, saya suka matematika dari dulu sih. seneng aja merajut persamaan

      Hapus
  10. Affina M4/03/2021

    Teh, jadi baru tahu di kemudian hari ya kalo Ibu Teteh mendoakan agar kuliahnya gak jauh? Sedih banget. Baca-baca di sini ternyata teteh mengajar coding ya? Beneran ternyata passionnya berhubungan dengan matematika ya hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, saya satu-satunya anak perempuan yang dibolehin kuliah jauh. lainnya ga boleh hahaha

      Hapus

Thanks For Your Comment :)